Oleh: M Husni Muslim, Pegiat Literasi Budaya Halmahera Selatan

Setiap peristiwa besar dalam sejarah menyimpan pesan dan hikmah mendalam. Demikian pula dengan penetapan 18 Mei sebagai Hari Kearsipan Nasional oleh pemerintah Republik Indonesia. Tanggal ini menjadi momen reflektif dalam merangkai catatan sejarah dan budaya bangsa. Di Halmahera Selatan, peringatan ini menemukan maknanya yang paling kuat dalam Festival Marabose, sebuah peristiwa budaya monumental yang tidak hanya merayakan tradisi, tetapi juga menggugah kesadaran kolektif akan pentingnya literasi sejarah.

Festival Marabose, yang kini menjadi ikon budaya di Kabupaten Halmahera Selatan, tak lahir dari seremoni semata. Ia tumbuh dari niat tulus pimpinan daerah almarhum Usman Sidik dan Bassam Kasuba yang saat itu baru menjabat sebagai kepala Daerah dan juga baru dilantik sebagai Ompu Datuk Sapanggala dan Naib (wakil) Datuk Sapanggala, keduanya langsung menunjukkan komitmennya untuk membangun Negeri SARUMA dari sektor sejarah dan budaya. Niat ini didisukusian dan disambut hangat Kesultanan Bacan, khususnya oleh Ompu Datuk Alolong (Jogugu), hingga terjalin sinergi antara pemerintah dan kesultanan.

Festival Marabose yang sudah berlangsung beberapa tahun lalu itu, berbuah manis pada 2024, ia mengukir sejarah baru ketika kegiatan Napak Tilas sepanjang 174 kilometer meraih Rekor MURI sebagai perjalanan sejarah terjauh yang pernah dilakukan. Penghargaan tersebut diberikan kepada Ompu Bassam Kasuba sebagai Bupati HALSEL dan Sultan Bacan ke-22, M. Irsyad Maulana Albaqir Sjah, sebagai bentuk pengakuan atas dedikasi mereka menjaga warisan sejarah dan budaya.

 

Sayangnya, di tengah apresiasi publik, muncul cibiran di media sosial yang menyebut kegiatan ini sebagai ajang “numpang tenar”. Namun, fakta sejarah dan pencapaian konkret telah membungkam tudingan itu. Sebaliknya, justru komentar miring tersebut mencerminkan kurangnya pemahaman akan nilai budaya yang sedang dijaga.

Selain itu, salah satu elemen penting yang terus diperjuangkan dalam Festival Marabose adalah literasi. Sejak awal pelaksanaan, sejumlah panitia dan pegiat budaya menekankan pentingnya kehadiran unsur edukatif seperti seminar, sarasehan, dan diskusi. Bukan sekadar hiburan, Festival Marabose diharapkan menjadi ruang belajar sejarah, terutama bagi generasi muda.

Melalui pendekatan literasi, kita memahami bahwa hijrah Sultan Said Husen Muhammad Albakir dari Kie Besi Limau Dolik ke Limau Sigara Kasiruta bukan karena krisis air semata, tetapi untuk menjaga kehormatan dan keamanan wilayah Moloku Kie Raha dari ancaman eksternal. Marabose sejatinya adalah simbol perjalanan dakwah Islam dan penyebaran peradaban, yang telah berlangsung lintas generasi dan wilayah, mulai dari Gorontalo, Sangihe, hingga Raja Ampat dan Papua.

Lebih dari sekadar peristiwa lokal, Marabose mencerminkan peran strategis Kesultanan Bacan sebagai pusat peradaban yang inklusif. Beragam etnis di wilayah Bacan, seperti Gorontalo, Sanger, Togale, dan Galela dll memiliki hubungan historis yang erat dengan kesultanan Bacan. Bahkan, istri Sultan Said Husen Muhammad Albakir, Boki Tupowo, berasal dari suku Galela, hal menegaskan bahwa pluralitas telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah Bacan.

Sejarah panjang ini perlu terus dirawat dan disampaikan. Sayangnya, meski memiliki nilai sejarah dan budaya yang tinggi, Festival Marabose belum masuk dalam Kalender Event Nasional (KEN). Bukan karena kurang layak, tetapi karena belum diusulkan secara formal oleh dinas terkait. Hal ini menjadi catatan kritis bagi pemerintah daerah untuk lebih proaktif dalam mempromosikan kekayaan sejarah dan budaya lokal ke tingkat nasional bahkan internasional.

Festival Marabose bukan sekedar pesta budaya, melainkan pengingat akan warisan perjuangan, keberagaman, dan misi spiritual para leluhur. Ia adalah wujud nyata dari kesultanan yang membawa risalah Islam ke berbagai penjuru Nusantara. Untuk itu, sangat disayangkan jika festival ini masih dipandang sebelah mata atau bahkan dijadikan bahan pergunjingan.

Semangat literasi, sejarah, dan kebersamaan yang terpancar dari Marabose patut dijadikan teladan. Dan bagi siapapun yang ingin mempersoalkannya, silakan. Tapi, jangan pernah mencemarkan nama baik para pemimpin dan menyakiti hati masyarakat yang tengah merawat identitas dan martabatnya.

Wallahu A’lam Bisshawab. Allahu Musta’an.