JAILOLO, BNtv – Puluhan mahasiswa dan pemuda yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Pabos menggelar aksi unjuk rasa pada Kamis, (10/2025), menolak rencana pembangunan proyek panas bumi (geothermal) oleh PT Geo Dipa Energi dan PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) di wilayah Halmahera Barat, Maluku Utara.

Pasalnya, proyek pengembangan panas bumi tersebut direncanakan mencakup area seluas 13.580 hektare dan meliputi Kecamatan Jailolo serta Kecamatan Sahu, termasuk kawasan sekitar Talaga Rano. Potensi panas bumi di kawasan itu khususnya di Desa Idamdehe, Bobo, Bobo Jiko, Payo Tengga, dan Desa Payo diperkirakan mencapai 75 megawatt (MW).

Koordinator aksi, Andri Umar, dalam orasinya menyampaikan bahwa proyek ini telah diteliti sejak tahun 1960-an oleh Institut Teknologi Bandung (ITB), dan pada tahun 2009, PT Star Energy Geothermal Halmahera mendapat izin eksplorasi dari Kementerian ESDM dan Pemkab Halmahera Barat. Namun, karena tidak tercapainya kesepakatan harga jual listrik dengan PLN, proyek itu tak berlanjut. Kini, pengelolaan proyek dilanjutkan oleh PT Geo Dipa Energi, BUMN yang mendapat pendanaan dari World Bank melalui hibah Geothermal Energy Upstream Development.

Meski demikian, penolakan terhadap proyek ini terus bermunculan, terutama dari warga Desa Bobo dan mahasiswa Pabos. Mereka mengkritik minimnya keterlibatan masyarakat dalam proses sosialisasi dan pengambilan keputusan. Beberapa warga yang sebelumnya diajak survei oleh PT Star Energy pada 2010 dan 2013 mengaku tidak dilibatkan dalam tahapan berikutnya.

Penolakan semakin menguat sejak kunjungan Bupati Halmahera Barat, James Uang, ke Patuha, Jawa Barat, pada 8 November 2021, bersama sejumlah kepala desa dan DPRD setempat. Kunjungan itu dilakukan tanpa melibatkan warga pemilik lahan titik pengeboran. Setelahnya, mahasiswa dan warga menggelar kampanye penolakan, termasuk nonton bareng film dokumenter geothermal dan aksi ke kantor bupati.

Menurut warga yang menolak, sosialisasi yang dilakukan oleh pihak perusahaan dan pemerintah tidak menjawab kekhawatiran terkait dampak lingkungan dan sosial proyek geothermal. Salah satu tokoh masyarakat, Ko Dar, sempat mempertanyakan siapa yang akan bertanggung jawab jika terjadi dampak buruk dari proyek tersebut. Karena tidak mendapat jawaban memuaskan, sosialisasi pun dibubarkan warga.

Sementara itu, kelompok warga yang mendukung proyek ini menyebut bahwa PT Geo Dipa menjanjikan kompensasi berupa pembelian lahan dengan harga tinggi, lapangan kerja bagi warga lokal, pendidikan dan listrik gratis bagi masyarakat di sekitar tapak proyek. Bahkan, tim ahli dari perusahaan menyatakan bahwa jika potensi panas bumi tidak dimanfaatkan, dikhawatirkan akan terjadi letusan atau semburan panas yang berbahaya.

Namun, situasi di lapangan masih diwarnai konflik. Pada sosialisasi tahun 2022 di SD Inpres Bobo, sempat terjadi kericuhan karena adanya perbedaan pendapat antarwarga. Mahasiswa yang menanyakan sejumlah hal kepada pihak perusahaan justru diusir oleh warga yang pro terhadap proyek.

Laudin, salah satu warga Desa Bobo yang memiliki lahan di sekitar lokasi pengeboran, menyatakan kesediaannya menjual tanahnya dengan harga tinggi. Ia mengaku mendapat penjelasan bahwa sebagian wilayah seperti Air Gasi yang memiliki air panas ekstrem akan dipagari dan dibatasi aksesnya. Meski demikian, hanya pekerjaan kasar yang akan diberikan kepada warga sekitar.

Permasalahan lain muncul saat terjadi sengketa lahan antarwarga, di mana beberapa individu dituding mengukur tanah milik orang lain untuk mendapatkan sertifikat demi menjual ke perusahaan. Bahkan, salah satu titik pengeboran yang disebut “Banjanga Ma Gurah” diduga merupakan tanah milik Kesultanan Ternate yang sebelumnya diserahkan kepada warga saat kunjungan Sultan.

Warga lainnya, Om Ade, menduga titik pengeboran utama bukan di Idamdehe, melainkan di Desa Bobo, dan menilai proyek di Idamdehe hanya sebagai formalitas. Ia menyampaikan bahwa proyek geothermal ini lebih bersifat kontrak lahan dan bukan sepenuhnya pembebasan tanah.

Untuk diketahui Aksi penolakan akan masih terus berlangsung, dan warga berharap pemerintah daerah benar-benar memperhatikan aspirasi masyarakat sebelum melanjutkan proyek besar ini. (Riwan-Red)